JAKARTA ~ Dengan cepatnya waktu berlalu menuju tahun 2024, terdapat beragam harapan dan kecemasan terkait keadilan dan demokrasi. Pada tahun 2024, sekitar dua miliar orang dari 70 negara, termasuk Indonesia, akan mengikuti pemilihan umum, seperti yang disampaikan Pemimpin Redaksi The Economist, Zanny Minton Beddoes, dalam catatannya berjudul “The World Ahead 2024”.
Harapan masyarakat seluruh dunia yang ikut dalam pemilihan umum tersebut adalah terwujudnya perubahan positif menuju keadilan, tanpa diskriminasi, dan kemakmuran bersama.
Meskipun banyak pihak yang berharap demikian, SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) mencatat bahwa di Indonesia sepanjang tahun 2023, terdapat rencana ketidakadilan yang menarik perhatian mereka. Sejumlah pihak dalam dunia pers mencoba membujuk Presiden Joko Widodo untuk menandatangani draf hak penerbit (publisher right), yang dijelaskan sebagai upaya memajukan media pers berkualitas.
SMSI menolak rencana ini, menyatakan bahwa draf tersebut menciptakan ketidakadilan dengan membatasi media start-up yang sedang berkembang pesat. Dalam draf tersebut, pers start-up harus terverifikasi oleh Dewan Pers untuk mendapatkan bagian dari iklan, termasuk iklan dari platform digital global seperti Google.
Presiden Joko Widodo menunjukkan sikap hati-hati dan tidak segera menandatangani draf tersebut, menyadari adanya pro dan kontra di kalangan pers. SMSI, dengan 2000 perusahaan pers siber sebagai anggotanya, secara tegas menentang draf tersebut, menyatakan bahwa hal tersebut dapat dianggap sebagai bentuk pembredelan sistematis yang melawan perkembangan demokrasi di Indonesia.
SMSI juga mengingatkan Presiden Jokowi akan janjinya untuk mendukung perusahaan start-up media. Meski beberapa pihak besar menolak, termasuk Google dan Meta (yang mengelola Facebook dan Instagram), SMSI menegaskan pentingnya keadilan dan pertumbuhan yang merata di industri media Indonesia. Presiden Jokowi dinyatakan sebagai pemimpin yang masih adil terkait isu media di negeri ini.(*)
Penulis : Cahyonoadi RS
Editor : achmad