SUMBAR ~ Sumatra Barat adalah salah satu surga kuliner tradisional Nusantara. Seorang penulis buku resep masakan kelahiran Padang Panjang bernama Sri Owen lewat bukunya The Home Book Of Indonesia Cookery terbitan 1976 menyatakan, tak akan cukup jari tangan untuk menghitung aneka makanan dan masakan unik khas Ranah Minang.
Tentu Sri tak asal bicara. Pada kenyataannya, memang terlalu banyak ragam kuliner Minangkabau yang menggugah selera. Misalnya, satai dengan bumbu mirip gulai kental dan soto yang berkelindan dendeng daging dan perkedel kentang. Atau, dendeng batokok, yaitu daging dendeng pipih yang dibuat dengan cara di-tokok atau dipukul-pukul supaya bumbunya bisa makin meresap ke dalam daging.
Namun kuliner paling fenomenal tentu saja rendang, hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods 2011 oleh CNN International. Masakan ini kaya bumbu rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, serai, cabai, bawang putih, dan bawang merah dicampur santan.
Kenikmatan cita rasanya akan semakin lengkap jika ditambahkan potongan daging sapi atau kerbau dan dimasak selama berjam-jam dengan api kecil. Jika telah matang, penampakannya akan sangat unik karena warna masakannya menjadi cokelat kehitaman dan aroma gurihnya akan menyeruak memenuhi isi ruangan.
Dagingnya nikmat disantap karena bumbu-bumbunya sukses menyelinap sempurna, menetap di setiap serat daging. Kuliner ini dapat bertahan selama berminggu-minggu dan bisa menjadi pilihan tepat untuk bekal jika bepergian dalam waktu lama.
Sejarawan Universitas Andalas Padang Gusti Asnan mengatakan, rendang sudah menjadi perbekalan wajib para perantau Minang atau ketika berlayar menuju Malaka abad 16 atau sekitar tahun 1550 silam, seperti disebut dalam sastra Melayu klasik. Dalam perkembangannya, daging sapi atau kerbau dapat pula digantikan dengan telur, daging ayam dan itik, belut, ikan tongkol atau tenggiri, paru dan hati (bisa sapi, kerbau, atau ayam).
Alam takambang jadi guru, itulah filosofi masyarakat Minangkabau untuk berinteraksi dengan alam. Alhasil, tak hanya jenis di atas itu yang dapat dijadikan bahan pelengkap rendang. Urang awak di kawasan pesisir Minangkabau rupanya memilih lokan (Polymesoda expansa) sebagai pengganti daging sapi atau kerbau. Selain mudah didapat, asupan makanan berbasis hasil kekayaan muara sungai dan laut telah menjadi keseharian mereka.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lokan didefinisikan sebagai kerang besar yang dapat dimakan dan hidup di lumpur tepi laut. Masakan berbasis kerang ini biasanya dapat ditemui pada masyarakat Minangkabau yang berdiam di kawasan pesisir. Bentuk cangkang lokan ini sepintas lebih mirip rumah siput.
Rasa rendang lokan cukup unik, karena rasa gurih rempah dan pedasnya lado atau cabai pada bumbu bergelut kuat dengan manis alami si lokan. Tak perlu takut akan bau amis, karena bumbu rempah rendang mampu meredamnya.
Asal tahu saja, masakan berbahan lokan ini lebih sehat dari rendang daging. Karena lokan atau kerang merupakan sumber protein hewani yang lengkap. Ia mengandung semua jenis asam amino esensial yang dibutuhkan untuk membantu metabolisme tubuh.
Asam amino esensial tidak dapat diproduksi oleh tubuh kita, sehingga mutlak harus berasal dari makanan. Kadar proteinnya menakjubkan dan mampu terserap oleh tubuh hingga 95 persen. Ia juga kaya kandungan mineral dan vitamin B12. Satu lagi, kerang juga rendah lemak tidak seperti rendang daging sapi.
Salah satu tempat untuk menikmati rendang lokan ada di Desa Wisata Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman. Menurut Wali Nagari Ade Candra Saputra, sejak ratusan tahun silam masyarakat setempat sudah mengonsumsi rendang jenis ini. Untuk seporsi rendang lokan, kita bisa membelinya seharga Rp75.000.
Tak semua kedai makan di Nagari Ulakan menyediakan masakan jenis ini setiap hari. Umumnya kuliner ini hanya disajikan ketika ada acara-acara adat atau ketika Lebaran atau dimasak ketika ada pesanan dari kerabat mereka di kota lain. Akibatnya, rendang lokan pun terbilang langka. Ditambah lagi, tidak semua masyarakat Sumbar mengenal rendang jenis ini.
“Supaya makin dikenal, kuliner ini turut kami sajikan kepada para pengunjung di kedai makan wilayah ekowisata dan edukasi Green Talao Park,” kata Ade seperti dikutip dari website resmi nagari.
Green Talao Park adalah objek wisata petualangan dan bahari unggulan Sumbar di Nagari Ulakan. Upaya itu diakuinya mendapat respons positif. Apalagi porsinya diperkecil agar rendang dapat dinikmati dengan harga lebih terjangkau dan tak sedikit yang membawanya pulang sebagai oleh-oleh.
Agar makin menarik, cangkang kerang pun kini sudah tidak disertakan lagi dalam masakan rendang lokan. Sehingga konsumen tak perlu kerepotan saat akan menyantapnya dan tampilan masakan pun semakin bermutu. Kuliner ini akan makin nikmat jika disantap bersama nasi hangat dan ditemani jus buah nipah (Nypa fruticans), minuman sejuk khas Nagari Ulakan. Ondeh, lamak bana! (*)