Bumi Ageung Majalengka Saksi Kejayaan Kerajaan Talaga Manggung 

Min.co.id – Majalengka – Situs Bumi Ageung Talaga adalah sebuah bangunan lama (ada beberapa yang sudah direnovasi) yang mempunyai peranan penting dalam perjalanan sejarah panjang Kerajaan Talaga.

Berikut penjelasan perjalanan sejarah tersebut, yang berhasil Min.co.id dapat melalui wawancara dengan Kepala Museum Talagamanggung, Asep Asdha Singawinata dan salah seorang Pranata Situs Budaya Karatuan Talaga, serta Humas Yayasan Talagamanggung Simbarkantjana di Bumi Ageung Talaga Majalengka, pada Kamis (15/7/2021).

Situs Bhumi Ageung Talaga yang terletak di Blok Kagok Desa Talagakulon Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka merupakan bangunan yang pernah digunakan sebagai Kantor Pusat Tata Kelola Negara pada masa Rd Apun Surawidjaya (Sunan Lemah Abang) menjadi Raja Talaga ke-X (terakhir).

Berdirinya Kerajaan Talaga diawali oleh pembentukan Padepokan (pengajaran) keagamaan di daerah Gunug Bitung, oleh Rakean Sudhayasa.

Di generasi berikutnya, yaitu Prabu Darmasuci I, melanjukan kiprah ayahnya memimpin Padepokan tersebut. Kemudian memindahkannya ke suatu wilayah yang berada di dekat danau (talaga).

Padepokan tersebut akhirnya terus berkembang menjadi pusat tata kelola masyarakat yang di kemudian hari menjadi kerajaan yang disebut kerajaan talaga.

Maka dibangunlah sebuah keraton (karatuan) yang disebut Karatuan Sanghiyang Manik yang terletak di Desa Sangiang Kecamatan Banjaran Kabupaten Majalengka. Karatuan tersebut merupakan Keratuan Pertama di masa kerajaan Talaga dan sekaligus Darmasuci I diangkat menjadi Raja Resi (Raja yang sekaligus menjadi pengajar spiritual). Selanjutnya tahta Karatuan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Prabu Talagamanggung atau Darmasuci II.

Pada masa ini Kerajaan Talaga mengalami puncak kejayaannya. Namun sayang, dalam perjalanannya, terjadi pemberontakan dari dalam keluarga keraton yang menewaskan Sang Prabu. Pemberontakan ini didalangi oleh menantunya sendiri yaitu Patih Sakyawira. Yang bergelar “Pa Lemban Gunung”. Karena tergoda oleh kedudukan menjadi Raja di Talaga, ia tega membuat gerakan hasut adu domba di kalangan para abdi dalem terdekat di lingkungan keluarga Keraton.

Pada akhirnya kerusuhan ini dapat di selesaikan oleh Aparatur Negara Talaga yang masih setia pada Prabu Talagamanggung, yang dibantu oleh pasukan khusus dari Galuh Kawali yang dipimpin oleh Rd Kusumalaya. Patih Sakyawira bersama pengikutnya dijatuhi hukuman mati.

Sepeninggal Prabu Talagamanggung, tahta selanjutnya dilanjutkan oleh Ratu Simbatkancana, putri ke dua Prabu Talagamanggung.

Karena rasa trauma yang mendalam atas penyebab kematian ayahanndanya, Ratu Simbarkancana, memindahkan Keraton Sanghiyang manik ke Walang Suji, Bekas Kaputren beliau sewaktu mendampingi Suaminya di Walangsuji Kecamatan Banjaran. Sepeninggal beliau, tahta selanjutnya dilanjutkan oleh Batara Sokawayana.

Beliau juga memindahkan pusat pemerintahannya ke Daerah Parung (Campaga) Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka Sekarang.

Keraton ini dipakai selama tiga periode oleh pemimpin Keratuan Talaga, diantaranya:

Batara Sokawayana, Ratu Sunialarang (anak Batara Sokawayana), dan Aria Kikis (Putra Ratu Sunialarang).

Barulah kemudian pada saat karatuan Talaga dipimpin oleh Rd Apun Surawidjaya (Putra Arya Kikis) pusat pemerintahan Karatuan Talaga dipindahkan ke Bhumi Ageung Talaga.

Bhumi Ageung Talaga, kini menjadi kediaman keluarga besar salah satu keturunan Prabu Apun Surawidjaya, yang didekasikan oleh pemiliknya untuk kegiatan pengkajian sejarah dan budaya Talaga.

Selain itu, di sini juga tersimpat beberapa artefak benda bersejarah peninggalan Raja/Ratu Talaga, diantaranya: tombak, keris, kujang. meriam cetbang, baju zirah, arca, berbagai macan guci dan benda-benda lainnya.

 

Ada satu hal yang menarik dan jarang terekspos ke media, bahwasannya di Bumi Ageung Talaga, menyimpan satu benda yang sangat bersejarah, yaitu beberapa daun pintu kuno dari kayu yang berukir indah.

Mengutip dari catatan Prof Dr. Viviane dari Tim Penelitian Asia Timur, menyatakan bahwa pintu tersebut adalah sisa peninggalan Prabu Siliwangi di zamannya. Pintu itu disebut sebagai Lawang Gede Pajajaran. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *