Keindahan Pesisir pantai di Pulau Leebong

Min.co.id-Belitung-Belitung dianugerahi Sang Pencipta keindahan alam pesisir pantai yang begitu menakjubkan. Birunya air laut berpadu dengan kemilau pasir putih di pantai-pantainya yang menawan. Belum lagi ratusan bongkahan besar batu hingga sebesar kapal ikut menambah pesona wisata pantai dan laut di Negeri Laskar Pelangi tersebut. Selain wisata pantai, terdapat pula wisata mengunjungi pulau-pulau cantik, salah satunya Pulau Leebong.

Namanya memang belum setenar Lengkuas atau Kelayang, dua pulau yang menjadi destinasi utama para turis saat di Belitung. Leebong adalah pulau mungil seluas 37 hektare yang terletak di barat daya Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Berada di wilayah administrasi Kelurahan Pegantungan, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung, Pulau Leebong berjarak sekitar 25 kilometer dari Bandara HAS Hananjoeddin, Kota Tanjung Pandan.

Dari pusat kota, diperlukan waktu berkendara selama 45 menit arah barat daya menuju pelabuhan penyeberangan Tanjung Ru, salah satu terminal transportasi laut utama di Belitung yang berlokasi di Pegantungan. Nyaris tidak ada angkutan umum yang dapat mengantarkan ke lokasi pelabuhan ini. Menyewa mobil adalah satu-satunya cara.

Setibanya salah satu titik penyeberangan, berderet belasan perahu berbahan kayu dan serat (fiber) bersanding dengan sejumlah kapal feri besar rute Pulau Bangka, Palembang, dan bahkan Tanjung Priok. Perahu bermesin menjadi moda satu-satunya yang mampu mengantarkan kita ke pulau cantik nan alami.

Kapal-kapal berkapasitas paling banyak sembilan penumpang itu sudah siap beroperasi sejak pukul 10.00 dan akan mengantarkan kita kembali ke lokasi pemberangkatan ini pada sekitar pukul 17.00. Di tiap perahu terdapat jaket keselamatan (safety vest) yang harus dikenakan oleh para penumpang selama perjalanan.

Lama perjalanan menuju Pulau Leebong dari Pelabuhan Tanjung Ru sekitar 20 menit untuk menempuh jarak sekitar 5 km. Ombak laut dalam perjalanan menuju pulau cantik ini cukup bersahabat karena di sekelilingnya terdapat banyak pulau seperti Pulau Rengit, Mentarak, Ruk, Baguk, Betangan, dan Mengkokong yang ditumbuhi hutan mangrove sebagai pemecah gelombang alami.

Oh iya, untuk bisa masuk ke Pulau Leebong sebaiknya terlebih dulu melakukan pemesanan melalui jasa biro perjalanan setempat. Soalnya, pulau tersebut ternyata milik pribadi yang kemudian pada April 2016 dibuka untuk umum meski dengan jumlah pengunjung yang terbatas. Menurut pemiliknya, Tellie Gozelie yang juga seorang politisi, ia ingin agar kelestarian alam yang masih begitu terjaga di pulau ini dapat terus dinikmati oleh siapa pun yang mengunjunginya.

Maklum saja, keanekaragaman hayati dan vegetasi alam dari pulau ini cukup lengkap. Terdapat hutan alam seluas 10 hektare di beranda belakang pulau dengan koleksi tanaman liar tropis yang mulai jarang ditemui di lokasi lain. Di hutan ini pohon kayu putih (Melaleuca leucadendra) dan simpur (Dillenia beccariana) yang tumbuh menjulang saling bersanding melindungi flora lebih kecil seperti sikas, karamunting yang merupakan famili Melastomataceae.

Ada juga pohon jambu nasi (Syzygium zeylanicum) atau dikenal sebagai jambu hutan dengan buah kecil-kecil mirip leunca atau sebesar buah kopi. Anggrek liar jenis Dendrobium aloifolium menjadi salah satu tumbuhan cantik yang bisa ditemui di hutan Leebong. Uniknya lagi, jika beruntung kita dapat bersua beberapa jenis satwa liar seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kijang (Muntiacus), kancil (Tragulus kanchil), dan alap-alap (Falconidae) yang bertengger di pucuk pepohonan tinggi.

 

Keasrian Hutan Mangrove

Bukan itu saja, karena sekitar 100 meter dari pulau yang dipisahkan oleh semacam selat berair bening sedalam 8 meter dengan koleksi terumbu karang perawan dan ikan-ikan hias menawan, terdapat hutan mangrove yang masih terjaga kelestariannya. Ada kanal alami selebar sekitar tiga meter membelah hutan mangrove seluas 17 ha tersebut.

Saat air mulai pasang, sekira pukul 14.00, kita dapat menyusuri kanal alami tersebut menggunakan perahu bermesin. Kanal ini membagi dua kawasan mangrove dan semakin ke ujung, celah kanal akan makin menyempit.

Kanal itu menjadi lintasan paling mudah untuk melihat ratusan ribu pohon mangrove jenis bakau (Rhizophora). Para pengemudi kapal sudah hapal, bahwa aktivitas susur hutan mangrove seakan menjadi agenda wajib ketika berada di Leebong.

Biasanya, mereka akan melambatkan laju perahu di sepanjang pesisir hutan mangrove dan membiarkan tamu-tamu mereka memuaskan diri menikmati kejernihan air dan biota laut di dalamnya. Tentu saja ditemani semilir angin dan kicauan burung-burung khas perairan, seperti camar kepala cokelat (Larus brunnicephalus), dara laut jambon (Sterna dougalii), dan trinil (Tringa) terbang yang setia mengiringi perjalanan perahu.

Hijau rimbunnya mangrove di kiri-kanan kanal berpadu kontras dengan biru terang dan jernihnya air laut. Ketika air surut dan menyisakan permukaan air setinggi 1–3 meter saja, kita dapat melihat dengan jelas akar-akar mangrove bermunculan hingga ke dasarnya.

Air jernih dengan dasar berpasir putih pun bisa leluasa kita pandangi, begitu juga ratusan ikan aneka warna berenang sesuka hati dan kepiting-kepiting bakau (Scylla) aneka ukuran berlarian. Di tepian akar bakau sesekali tampak beberapa ekor udang mengendap keluar dari persembunyian. Di tengah hutan mangrove terdapat titian kayu selebar 1,5 meter sepanjang sekitar 300 meter yang dapat dimanfaatkan pengunjung untuk melihat lebih dekat pohon-pohon mangrove. Di ujung titian, dibangun sebuah menara pandang berbentuk segi enam setinggi sekira tigameter yang ditopang oleh enam tonggak kayu sebesar paha orang dewasa.

Jika sedang beruntung, kita dapat menyaksikan belasan ekor burung kuntul kecil (Egretta garzetta), camar kepala cokelat dan kepala hitam (Larus ridibundus), dara laut jambon dan dara laut tengkuk hitam (Sterna sumatrana) bertengger di pucuk pohon bakau. Sebagian beristirahat dari teriknya mentari, sebagian lainnya tetap bersiaga menatap ke air jernih menanti mangsa, ikan-ikan yang sedang berenang.

 

Rehabilitasi Mangrove

Sesekali kita dapat menyaksikan beberapa orang tengah sibuk mencari udang, kepiting, dan ikan-ikan kecil di sela rimbunan mangrove. Mereka umumnya adalah para kru perahu bermesin yang sedang beristirahat sambil menunggu tamu-tamu mereka berwisata di Pulau Leebong.

Kepada para tamu yang diantar, mereka selalu menjawab kompak bahwa mencari biota laut di sini tidak dijadikan sebagai mata pencarian tetap. Karena mereka sadar bahwa hutan mangrove dan segala isinya wajib mereka jaga. Soalnya, jika hutan ini rusak dan biota-biota lautnya pergi, sudah pasti akan semakin jarang tamu yang singgah menikmati kerimbunan pokok-pokok daun bakau.

Pulau Leebong beruntung karena memiliki hutan mangrove yang masih terjaga kelestariannya dan disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di Belitung. Ini bukan tanpa alasan karena berdasarkan catatan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove RI pada 2020 saja, terdapat sekitar 80.761 ha ekosistem mangrove di Babel dalam kondisi rusak.

Oleh karena itu, melalui Peraturan Presiden nomor 120 tahun 2020, Babel pun menjadi satu di antara sembilan provinsi yang akan menjalani program rehabilitasi hutan mangrove. Kedelapan provinsi lainnya adalah Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan Papua Barat.

Kepala BRG Hartono menargetkan, pada 2021 pihaknya sudah bisa melakukan rehabilitasi terhadap 16.319 ha hutan mangrove di Babel. Rinciannya sebanyak 3.069 Ha yang berada di kawasan konservasi, sementara 13.250 Ha di luar kawasan konservasi.

“Perlu dilakukan rehabilitasi mangrove padat karya berbasis desa dengan dukungan penuh dari berbagai pihak, terutama pemerintah daerah. Kami akan segera meninjau ke Babel untuk melakukan pengecekan lapangan,” demikian diutarakan Hartono ketika mengadakan pertemuan dengan Gubernur Babel Erzaldi Rosman di Jakarta, Senin (12/4/2021) seperti dikutip dari laman resmi Pemerintah Provinsi Babel di www.babelprov.go.id.

Erzaldi pun berjanji untuk melibatkan masyarakat, baik di Pulau Bangka maupun Belitung, untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove yang rusak. Mantan Bupati Bangka Tengah itu bahkan sudah menyiapkan program yang berkelanjutan jika rehabilitasi mangrove berhasil dijalankan.

Pemprov Babel juga akan mengembangkan pengelolaan hutan bakau yang memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar, salah satunya budidaya kepiting bakau. Di samping itu, orang nomor satu di Babel tersebut juga merencanakan lahan rehabilitasi mangrove dijadikan lokasi edukasi dan pariwisata dalam pelestarian kawasan pinggiran pantai.

“Kawasan hutan mangrove di Babel harus tetap terjaga kelestariannya, walaupun daerah ini dikenal sebagai daerah tambang,” ujar Gubernur Erzaldi Rosman.

Hutan mangrove yang terdapat di Pulau Leebong serta pulau-pulau sekitarnya adalah satu dari sedikit saja kawasan penyangga dan rumah bagi biota-biota laut yang masih terjaga kelestariannya di Babel. Semoga saja lestarinya hutan mangrove di sekitar Pulau Leebong juga dapat memberikan dampak positif bagi program rehabilitasi mangrove di Negeri Laskar Pelangi tersebut.

sumber : indonesia.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *