Demokrat: Muncul Pertanyaan, Apakah Kita Kembali ke Era Guided Democracy?

Min.co.id-Jakarta-Demokrasi di Indonesia bisa semakin berjalan mundur jika Pilkada 2022 dan 2023 tetap dipaksakan dilaksanakan pada 2024. Terdapat 272 pelaksana tugas (Plt) kepala daerah yang bakal ditunjuk mengelola provinsi, kabupaten, dan kota, selama 1-2 tahun. Demikian disampaikan Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, Rabu (10/2).

“Kredibilitas dan legitimasi kepala daerah di era demokrasi muncul karena dipilih oleh rakyat. Sedangkan jika ditunjuk langsung oleh Presiden melalui Mendagri, kredibilitas dan legitimasinya di mata rakyat yang dipimpinnya tentu sangat lemah. Kalau hanya beberapa bulan saja, mungkin masih bisa diterima publik, tetapi ini bertahun-tahun,” kata Herzaky.

Herzaky menyatakan inti dari demokrasi yakni pemimpin dipilih oleh rakyat, bukan kepala negara atau kepala pemerintahan. Menurut Herzaky, kalau kepala daerah ditunjuk Presiden, meskipun hanya Plt, tetapi dalam waktu cukup lama, makna demokrasi bakal mengalami reduksi. “Bahkan, muncul pertanyaan, apakah kita kembali ke era guided democracy?” ucap Herzaky.

Apalagi dengan penunjukan begitu banyak ASN atau korps tertentu sebagai penjabat kepala daerah. Menurut Herzaky, publik akan memaknainya sebagai ajang konsolidasi pihak tertentu menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024.

“Siapakah yang bakal diuntungkan dengan keberadaan 272 Plt kepala daerah ini? Apalagi, sebagian besar penunjukan penjabat kepala daerah ini di provinsi dan kota-kabupaten yang sangat strategis. Pertanyaan lanjutan tentu terkait netralitas ASN yang ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah,” kata Herzaky.

Menurut Herzaky, netralitas ASN menjadi isu sensitif yang hampir selalu mengemuka di tiap gelaran pemilu nasional dan pemilu daerah. Padahal, Herzaky menegaskan, netralitas ASN merupakan bagian penting dari menjaga kualitas demokrasi.

“Dengan penunjukan 272 ASN atau korps tertentu sebagai penjabat kepala negara dalam jangka waktu tahunan menjelang Pemilu 2024, ada bom waktu berupa potensi penyalahgunaan kekuasaan yang membuat mereka tidak dapat menjaga netralitasnya,” ucap Herzaky.

Herzaky menuturkan, pandemi Covid-19 tidak bisa menjadi alasan Pilkada 2022 dan 2023 batal dilaksanakan. Sebaliknya, menurut Herzaky, pandemi malah membuat Pilkada 2022 dan 2023 kian penting.

“Rakyat berhak menentukan seperti apa kebijakan penanganan Covid-19 di tiap daerahnya. Mereka yang merasa kepala daerahnya saat ini tidak memiliki performa baik dalam mengelola pandemi dan krisis ekonomi, bakal dihukum dengan tidak dipilih lagi. Rakyat bakal memilih siapa kepala daerah yang menurut mereka lebih pantas dan cakap dalam mengelola krisis ini,” kata Herzaky.

Herzaky pun menyebut, “Jangan cabut hak dasar warga negara dalam memilih pemimpin daerahnya, hanya karena pemerintah pusat saat ini gelagapan dalam mengelola Covid-19. Pandemi bukan berarti alasan mengebiri demokrasi.” (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *