Min.co.id-Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu pesta demokrasi di negeri ini. Pilkada tahun ini akan berlangsung pada tanggal 9 Desember 2020. Meski sedang pandemi covid 19, tak menyurutkan semangat para calon kepala daerah untuk berkompetisi meraih dukungan dari rakyat. Terdapat 270 daerah secara serentak akan melakukan pilkada.
Kekuasaan tampak begitu menggiurkan, padahal hakikatnya kekuasaan adalah amanah yang berat kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Menurut Umar Bin Khattab ra, jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di akhirat kelak. Dengan kata lain, jabatan sesungguhnya adalah beban, yang bila tidak ditunaikan dengan sebaik-baiknya, akan membawa pada kehinaan dan penyesalan (hizyun wa nadamah).
Anehnya, saat ini rata-rata amat bernafsu atas kekuasaan dan jabatan. Mereka seolah tak peduli jabatan dan kekuasaan itu akan berubah menjadi penyesalan dan kerugian bagi mereka pada Hari Kiamat kelak. Sebagaimana yang diperingatkan oleh Nabi saw. dalam hadis. “Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sementara kekuasaan itu pada Hari Kiamat kelak bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian.” (HR Nasa’i dan Ahmad).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Dampak kerja sama dengan para cukong ini melahirkan korupsi kebijakan, lebih berbahaya dari korupsi uang.
Korupsi kebijakan, kata Mahfud, biasanya berupa lisensi penguasaan hutan, lisensi tambang, dan lisensi lainnya yang lebih merugikan masyarakat. Hal senada diungkap oleh salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Dalam kajian yang pernah dilakukan KPK, sebanyak 82 persen calon Kepala Daerah didanai oleh sponsor (cnnindonesia.com, 11/9/2020).
Ya, dalam sistem demokrasi kapitalis negeri ini didesain menjadi korporatokrasi, munculnya pemimpin yang dibiayai adalah kolaborasi antara penguasa dan pengusaha, tanpa memedulikan nasib rakyat yang menjadi amanahnya. Wajar jika saat ini meski di tengah pandemi covid 19, kasak-kusuk politik oligarki menyeruak seolah hirau akan bahaya covid 19 yang jelas kian mengancam. Dan pilkada bisa jadi kluster baru penyebaran covid 19.
Maka lahirnya pemimpin yang dicintai dan mencintai rakyat dalam sistem demokrasi kapitalis adalah hal yang sulit. Padahal dalam Islam pemimpin yang baik adalah yang mencintai rakyatnya. Dari Auf ibn Malik, berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian.”
“Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Lalu, Auf berkata: “Ya Rasulullah, bolehkah kita memberontak kepada mereka?” Rasulullah saw. bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan salat di tengah kalian.” (HR Muslim).
Salah satu indikasi seorang pemimpin itu dicintai oleh rakyatnya adalah yang dapat mengayomi rakyatnya, melayani, menyayangi, membela, dan tidak berbuat zalim kepada rakyat. “Takutlah kamu akan doa seorang yang ter zalimi (teraniaya), karena doa tersebut tidak ada hijab (penghalang) di antara dia dengan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Di tengah pandemi covid-19, peran pemimpin atau penguasa yang amanah dan mencintai rakyat amat dibutuhkan. Pasalnya, jumlah korban covid 19 di Indonesia terus meningkat tajam. Bahkan negeri ini harus ditolak negara luar akibat buruknya penanganan pandemi covid 19, miris. Pandemi covid-19 juga mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Sungguh menyedihkan, padahal negeri ini adalah negeri dianugerahi Allah Swt. kekayaan alam berlimpah, namun tidak berkorelasi pada kesejahteraan rakyat. Disebabkan tata kelola ala kapitalistik yang tidak berpijak pada syariat-Nya.
Maka sudah sepatutnya pandemi covid 19 menjadi bahan muhasabah bagi bangsa ini agar kita kembali tunduk kepada-Nya. Pandemi covid 19 ini pun menyadarkan kita kebutuhan hadirnya pemimpin yang mencintai rakyat agar dapat melindunginya dari berbagai mara bahaya termasuk pandemi covid 19 dengan menaati syariat-Nya. Karena solusi syariat mengatasi pandemi secara efektif adalah dengan karantina wilayah, memisahkan yang sakit, memenuhi pelayanan kesehatan yang memadai seraya memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Secara alami mekanisme pelayanan urusan rakyat oleh penguasa ini akan menghantarkan kecintaan rakyat terhadap pemimpinnya.
Wallahua’am
Oleh : Titis Afri Rahayu (Cirebon)