Stop Pelibatan Anak Dalam Dunia Politik

Min.co.id-Jakarta-Peristiwa kerusuhan yang terjadi tanggal 22 mei 2019 di depan gedung Bawaslu dan demonstrasi massa tanggal 26 juni 2019 menjelang putusan MK membuktikan masih banyaknya anak-anak yang dilibatkan dalam aktivitas politik.

Anak-anak ini umumnya datang dari luar Jakarta, punya semangat pembelaan yang tinggi terhadap tokoh atau kelompok tertentu. Namun ada juga yang tidak paham maksud kedatangan mereka. Mereka datang hanya berdasarkan ajakan atau suruhan orang dewasa.

Dunia politik sama sekali bukan ranah yang anak-anak pahami. Anak-anak tidak pernah punya kepentingan dalam kegiatan yang mereka lakukan. Tetapi orang dewasalah yang memiliki agenda dan kepentingan dengan menggiring anak-anak dalam kancah politik praktis.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) no.35 tahun 2014 sebenarnya sudah gamblang menyatakan larangan pelibatan anak dalam kegiatan politik, sekaligus memuat point tentang sanksi hukum yang diberikan terhadap para pelanggar pasal tersebut.

Pasal 15 dari UU PA menyatakan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan.

Kemudian sanksi hukum terhadap para pelanggarnya ada di dalam Pasal 87 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76H (yaitu bahwa setiap orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”

Dengan melihat kasus yang masih hangat terjadi, pelibatan anak dalam dunia politik nampaknya belum ada kata berhenti. Kerentanan pemahamanan anak telah dijadikan sarana bagi mereka yang punya ambisi untuk memasukkan pemahaman orang dewasa dalam benak anak-anak yang polos .

Anak-anak sesungguhnya berada dalam tahap pemikiran yang sangat kaku, sempit, dan tidak luwes. Mereka belum memiliki kemampuan untuk memahami akan konsekuensi terhadap apa yang mereka lakukan. Cara berpikir mereka juga masih terus berproses untuk menjadi matang. Maka wajar saja seorang anak dengan mudah kagum dengan tokoh yang mereka lihat punya kekuatan atau popularitas.

Kerentanan cara berpikir anak juga membuat mereka dengan mudah tunduk kepada pihak yang lebih berkuasa, punya otoritas, baik itu orangtua, guru, maupun orang dewasa lainnya yang memiliki relasi kuasa atas dirinya.

Dengan demikian, sudah selayaknya dipahami oleh semua pihak bahwa setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak dalam dunia politik maka yang seharusnya disasar adalah para orang dewasa.

Namun, sangat disayangkan hingga saat ini hampir belum pernah ada orang dewasa yang dijadikan tersangka dan dikenai sanksi atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak-anak. Hampir selalu kasus hukum anak-anak dalam politik praktis akan berhenti pada penanganan terhadap anak-anaknya dengan melibatkan dinas/kementerian sosial.

Melihat kondisi tersebut, wajar saja kalau hingga saat ini anak masih menjadi sasaran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan politik praktis orang perorang maupun kelompok .

Hal ini harusnya menjadi perhatian serius pemerintah yang telah menerbitkan Undang-Undang perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014. Sudah sejauh mana implementasi dari sanksi hukum ini dijalankan? (Ena N)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *