(Jelang Pemilu 2019)
Opini-Min.co.id-Memasuki pemilu tahun 2019, saat ini masyarakat Indonesia sudah terpecah belah. Perpecahan di masyarakat yang terjadi itu tak hanya terlihat dari hasil koalisi partai politik, namun dapat disaksikan juga dari narasi isi tulisan status misal di medsos FB, Twitter dan lain-lain, serta media massa lainnya yang menampilkan berita-berita saling bersiteru antar dua kubu pendukung masing – masing Capres Cawapres yang berhak maju dalam pemilu 2019 mendatang.
Berita – berita di media sosial yang diproduksi oleh masyarakat yang terbelah tersebut, berisikan content yang merefleksikan suasana kebatinan mereka yg berbeda beda terhadap pilihan yang didukungnya.
Sementara media massa penyiaran baik cetak dan media elektronik, antara lain seperti media stasiun Televisi yang seharusnya menjaga netralitas untuk tidak ikut terbelah, karena etika penyiaran harus berpesan global imparsialitas adalah menjadi sebuah keharusan.
Sebagai ilustrasi sekilas obrolan di warung kopi tentang berita pemilu 2019 mendatang, para masing-masing pendukung sudah paham bila menyaksikan tayangan di tvOne adalah untuk para pendukung Prabowo, dan untuk para pendukung Jokowi, maka pilihannya di chanel Metro TV, sehingga media televisi tersebut akan sulit bersikap netral dalam pemberitaan pemilihan presiden 2019 ini.
Media massa penyiaran adalah sebuah sarana/ medium yabg bersifat publik dimana penyiaran tersebut menggunakan sarana penghantar lewat frekuensi, sementara frekuensi itu adalah milik publik (scarcity theory), dan milik negara menurut UUD pasal 45 : 33, sangatlah tidak benar bila menggunakan frekuensi milik publik yang beragam, namun ternyata isi penyiarannya hanya melayani kelompok politik tertentu.
Dan lebih tidak benar bila menggunakan sumberdaya alam milik negara, untuk kepentingan politik tertentu yang berakibat memperparah kondisi bangsa yang sudah terbelah akibat perbedaan pilihan pasangan Capres-Cawapres
Di beberapa negara ambil contoh di Amerika prinsip imparsialitas penyiaran pernah dituangkan dalam aturan regulasinya yang disebut dengan istilah dengan prinsip “Fairness Doctrine”, dan aturan ini bila dilanggar maka bagi yang melanggar akan diberikan sanksi yang berat.
Namun saat ini di awal tahun 90an aturan dengan prinsip fairness doctrine tersebut tidak lagi menjadi ketentuan hukum, namun hanya dijadikan sebatas pedoman etika.
Sejak perubahan tersebut media penyiaran di AS akhirnya berirama sama dengan media media partisan dan cenderung memiliki keberpihakan dukungan kepada calon-calon tertentu yang diusungnya dengan kekuatan politik tertentu.
Disini nampak framing berita dan agenda setting yang diberitakan akan menayangkan sebatas berita- berita dari sisi-sisi yang menguntungkan kekuatan politik tertentu yang mereka dukung saja.
Berbeda dengan di negara negara Eropa prinsip imparsialitas masih menjadi pedoman yang kokoh, terutama untuk media penyiaran publik. Bahkan pada media broadcast swasta seperti di Inggris ada larangan, tidak dapat menayangkan berita iklan politik yg berisi kampanye.
Sehingga berita yang berbau mendukung kekuatan politik tertentu akan langsung terkena kartu kuning bahkan bisa sampai kartu merah dan akan langsung ditutup siarannya. Sebagai contoh kasus ditutupnya Med TV pada tahub 1999 di UK.
Di Indonesia keharusan bahwa untuk content/ isi penyiaran harus berisi yang netral tertera pada dlm pasal 36 ayat 4 UU nomer 32 th 2002 tentang Penyiaran, dimana “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya, dan tidak diperkenankan mengutamakan golongan tertentu”.
Aturan ini sudah sangat jelas, bahkan sanksi atas aturan tersebut akan dapat sampai ke sanksi pembekuan siaran hingga pecabutan ijin.
Dalam prakteknya di lapangan ternyata media penyiaran tersebut tak mengindahkan aturan hukum dan pedoman etika yang mengharuskan menjaga kenetralan.
Beberapa siaran Televisi bahkan ada yang berani secara nyata terus menerus memberitakan partai dan tokoh politiknya, dan sebaliknya tidak mengekspose tokoh politik lawan atau bila adapun yang diberitakan adalah bagian sisi buruk lawan, dan ini sebenarnya pemberitaan yang buruk lalu disiarkan berulang-ulang akan menyebar virus yang akhirnya menjadi dipercaya, seperti yang diungkapkan ini
“If You tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it”, (Jika Anda mengatakan kebohongan yang cukup besar dan terus menerus mengulangnya, pada akhirnya publik akan memercayainya).
Kutipan sepenggal kalimat di atas pernah dicetuskan Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Jerman, tahun 1933, di bawah komando diktator Adolf ‘Fuhrer’ Hitler. Ia adalah seorang propagandis ulung, Goebbels adalah pelopor dan pengembang teknik propaganda modern.
Racikannya sangat mumpuni, teknik ini terkenal dengan julukan “Teknik Big Lie” (teknik kebohongan besar). Prinsip dari teknik ini adalah menyebarluaskan berita bohong atau yang disebut berita hoax via media massa sebanyak dan sesering mungkin, tujuannya menyebar virus berita kebohongan tersebut yang pada akhirnya akan dianggap sebagai suatu berita yang valid kebenarannya.
Tekniknya cukup sederhana, namun membunuh, demikianlah aksi propaganda yang disebarkan tangan kanan sang Fuhrer ini. Dalam menjalankan misinya, Goebbels menggunakan siaran radio dan film sebagai media propaganda massal. Target dari kedua alat ini sangat ampuh dan dapat menjangkau berbagai belahan bumi untuk disebarluaskan.
Selanjutnya dalam perhelaan Pilpres 2019 selain masa Kampanye akan sampai pada masa perhitungan suara, dan inilah peran media penyiaran yang memiliki peran utama dan sangat krusial dimana hasil perhitungan polling dan Quick Count kemungkinan signifikansinya tidak sama antara satu dengan yang lain.
Bahkan yang paling ekstrim hasil perhitungan suara tersebut antara satu Televisi dengan stasiun televisi lainnya hasil laporan hitungannya berbeda-beda, yang berakibat berbeda pemenang. Walhasil akibat terparah Masyarakat akan semakin terbelah dan dapat menimbulkan keributan akut.
Sementara netralitas lembaga independen dari KPU, Bawaslu hingga Mahkamah Konstitusi diragukan. Akibat perbedaan hasil perhitungan Pemilu tersebut yang diberitakan di media televisi memihak dan provokatif.
Media televisi dan media massa apapun idealnya wajib menjaga netralitas, dan berada di tengah publik dengan pilihan berbeda dalam menghadapi struktur masyarakat yang saat ini sudah terbelah, kewajiban media massa harusnya sebagai yang meredam kekisruhan bukan memicu kekisruhan yang berujung pada konflik dan pertikaian politik yang lebih fatal.
Saat ini bila mencermati lebih dalam pemilik media massa baik cetak dan elektronik tersebut sudah bukan rahasia adalah para politikus, bahkan ada yang menjabat ketua partai politik, sehingga akhirnya media tersebut digunakan untuk kepentingan dan alat politik agar mendulang kemenangan.
Seyogyanya peran media massa baik cetak dan elektronik harus melayani semua golongan dan kelompok masyarakat politik di Indonesia, dan menghindari perpecahan.
Mungkin harus diupayakan usulan tentang UU Penyiaran kelak mengatur point tentang bab larangan pengelola atau pemilik Media penyiaran cetak/electronik tidak dapat menjabat menjadi pengurus atau anggota Partai Politik, agar media penyiaran di Indonesia bersifat independen non partisan.
Penulis Oleh: Ir. Hj. Nurul Candrasari Masjkuri,M.Si
Dewan Pendiri Kaukus Perempuan Politik Indonesia