Dosen Asing : Antara Nasionalisme dan Kapitalisme

Min.co.id-Lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) telah memicu beragam respon dari masyarakat. Tak terkecuali dengan apa yang terjadi di dunia pendidikan.

Hal ini memicu perdebatan yang cukup sengit yang menilai tentang perlu tidaknya, atau mungkinkah nasionalisme tetap “aman” jika dimasuki oleh pemikiran dosen-dosen dari luar. Lantaran dosen-dosen asing itu nantinya, akan bergerak di sektor terpenting yang menentukan masa depan bangsa.

Data dari Kemenristekdikti menunjukkan bahwa saat ini sudah ada 30 dosen asing yang mengajar di Indonesia.

Rencananya, akan ada tambahan sekitar 200 dosen asing yang diimpor ke Indonesia. Peminatnya pun tak tanggung-tanggung, mereka berasal dari negara-negara maju. Diantaranya adalah Australia, Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Kekhawatiran yang muncul dari kalangan akademisi ini tentu bukan tanpa alasan. Alasan instrumentasi kebijakan, beban kerja dosen yang berat, hingga urusan kesejahteraan dosen ikut menyemarakkan permasalahan di dunia pendidikan. Apalagi jika pada kenyataannya, dunia pendidikan merupakan tempat terjadi proses transformasi sosial yang melibatkan peserta didik dan pendidik, serta seluruh elemen pendidikan.

Selain itu, desain kurikulum yang terus-menerus berubah meminta implementasinya dilaksanakan secara lebih cepat.

Padahal percepatan ini pun memerlukan waktu untuk menerjemahkan, mengidentifikasi kegiatan operasional, pelaksanaan hingga evaluasi kurikulumnya.

Menimang kebijakan dari pemerintah tentang impor dosen asing ini, kami mempertanyakan tentang perlu tidaknya mendatangkan dosen dari luar? Sementara sudah banyak sekali anak bangsa yang kuliah di universitas ternama luar negeri dan kembali ke Indonesia.

Tidakkah mereka juga diberikan kesempatan untuk mengabdi pada bangsanya. Meski beberapa atau mungkin banyak di antara mereka yang pada akhirnya lebih memilih mengabdi di luar negeri. Tak salah memang, dengan cara seperti itupun ia memutuskan untuk mengabdi pada bangsanya.

Dengan cara mengibarkan garuda dan merah putih di dunia internasional adalah bukti mereka cinta pada tanah airnya. Sementara mungkin saja di sisi lain, mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengabdi di dalam negerinya sendiri.

Munculnya nilai nasionalisme di satu sisi, merangsang munculnya kekhawatiran akan kapitalisme di sisi yang lain.

Pemerintah dalam hal ini mengkritisi kritikan yang muncul, bagaimana mungkin mengimpor dosen dari luar ini bisa mengancam nasionalisme. Padahal dosen impor tersebut tidak sebanding jumlahnya. Di sisi yang lain, bedanya perlakukan dan renumerasi justru memunculkan konflik “kapitalisme”.

Dimana yang kemudian akan merembet pada perdebatan tentang ranah, beban dan orientasi kerja nantinya.
Dosen lokal dibebankan dengan seabrek tuntutan untuk mengajar dan mengabdi kepada masyarakat disertai riset ilmiah.

Sementara dosen yang didatangkan dari luar justru hanya bergerak untuk memenuhi kebutuhan risetnya saja. Selanjutnya, perbedaan renumerasi juga tak kalah penting menghiasi perdebatan ini. Dosen dari luar dianggarkan sebesar US 300-500 dolar, yang jika dihitung bisa mencapai Rp. 39 – 65 juta rupiah.

Idealnya, para pemangku kebijakan –dalam hal ini adalah pemerintah- untuk melahirkan kebijakan yang berkelanjutan, consensus orientation, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, strategic vision, sebagaimana ciri khas dari good governance. Lalu, sebenarnya, sudah siapkah dosen lokal untuk bersaing dengan dosen luar tersebut?

Setidaknya pertanyaan inilah yang kemudian perlu untuk dijawab oleh dosen-dosen terbaik kita di dalam negeri. Ada ataupun tidak adanya dosen impor, apakah kualitas pendidikan menjadi lebih baik.

May Ashali (Penulis Buku Jadikan Aku Surgamu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *