Min.co.id-Beberapa bulan terakhir ini Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya penanggulangan penyakit difteri yang kian meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Menurut data Kemenkes per-November 2017 lalu, terdapat 20 provinsi melaporkan kasus difteri. Dan dalam kurun waktu Oktober 2017 terkait penyakit difteri ini Kemenkes telah menetapkan 11provinsi sebagai KLB.
Menurut data Ikatan Dokter anak Indonesia (IDAI) menyatakan kasus difteri kian meluas sampai 28 provinsi di Indonesia yang terjadi di 142 kabupaten dan kota. Kasus difteri yang terjadi di Indonesia merupakan terbesar di dunia.
” Kami mendapat laporan ada 40 anak yang terinfeksi difteri meninggal dunia dan lebih dari 600 pasien dirawat di rumah sakit terjangkit difteri, ” kata Ketua PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) DR Dr Aman Bhakti Pulungan, Sp. A(K), di Jakarta, dilansir ANTARA News, Senin, (18/12).
Menurut Aman jumlah data itu merupakan data IDI dan organisasi profesi dibawahnya, khususnya IDAI, yang didapat dari laporan organisasi profesi berdasarkan kasus kejadian yang ditemukan oleh setiap profesi.
” Jadi kalau ada kasus, sesama profesi kita meminta setiap profesi melapor. Kita sudah hitung, sama datanya, ” ujarnya.
Sementara itu menurut pakar kesehatan anak dr. Hafsari SP. A(K) menjelaskan ada 2 dampak mematikan dari penyakit difteri.
” Difteri disebabkan bakteri yang penularannya lewat saluran napas. Jadi, kumannya nempel di tonsil, akan del. Gejalanya, demam yang tidak tinggi, lemah lesu, dan nyeri telan, ” katanya.
Keberadaan kuman itu, kata Hapsari, akan merusak amandel, sel-sel darah merah, hingga membentuk selaput yang semakin membesar yang bisa membikin pasien mengalami sesak napas.
” Kalau selaput ditenggorokan sudah menempel amandel, menutup masuk kedalaman. Untuk mengatasinya harus dilakukan trakeostomi, ” ujarnya.
Tak hanya itu, kata Hapsari, toksin atau racun yang disebabkan kuman difteri juga bisa menyerang organ lain. Diantaranya jantung, otot mulut hingga ginjal sehingga dampaknya mematikan.
” Jadi, pertama yang mematikan difteri karena sumbatan yang bisa menyebabkan sesak napas, kedua toksinnya. Kalau menyerang jantung bisa keluar keringat dingin, otot mulut bisa tersedak, ” katanya.
Untuk mengantisipasi penularan difteri, Hapsari mengingatkan perlu mewaspadai faktor pembawa, yakni orang yang tidak menunjukkan gejala atau memiliki penyakit aktif, tetapi membawa dan menularkan.
” Yang membawa bakteri atau kuman ini tidak sakit, tetapi bisa menularkan ke orang lain. Difteri kian penularannya langsung. Makanya, justru membahayakan kalau ada pembawa ini, ” jelasnya.
Perubahan cuaca ekstrem yang terjadi belakangan, kata Hapsari, tidak juga mempengaruhi kemunculan difteri setelah sekian lama, sebab penyakit itu bisa muncul saat musim dingin dan kemarau. (Fahmi)